Wednesday, 25 February 2015
Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia
Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru
Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang
berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Masyarakat keturunan
Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan
tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman
Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden
Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001
yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif
(hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada
tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari
libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai
tahun 2003. Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru
berdiri, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah
tentang hari-hari raya umat beragama No.2/OEM-1946 yang pada
pasal 4 nya ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa yaitu Tahun
Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu ( tanggal 18 bulan 2 Imlek),
Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek).
Dengan demikian secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya
Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total
untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di
Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967
adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Namun,
Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan,
dan tetap mengijinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan
budaya tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga
tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari
diterbikannya Inpres No. 14/1967. Pada 6 Desember 1967, Presiden
Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang
pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam
instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan
di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi
Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap
atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa
termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya
Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa
termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang
dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong
dilarang dipertunjukkan. Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran
Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri
Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan
bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya
dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula
oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). LPKB menganjurkan keturunan
Tionghoa, antara lain, agar : - Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi
nama Tionghoa. - Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli. - Menanggalkan
dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, termasuk
bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek. Badan
Koordinasi Masalah Cina (BKMC). BKMC berada di bawah BAKIN yang menerbitkan
tak kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu \
"Pedoman Penyelesaian Masalah Cina\" jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini,
pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan
kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat
istiadat Tionghoa sebagai \"masalah\" yang merongrong negara dan harus
diselesaikan secara tuntas. Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri
No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan
kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara
lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama
Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang
di dukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan dan
larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi
eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang Tionghoa ke
dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik, Buddha bahkan ke
Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan, agama dan adat
istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek menjadi surut dan
pudar. Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993
menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Kemudian Perwakilan
Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93,
tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari
raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru
Imlek dengan menggotong Toapekong, dan acara Barongsai. Pada tanggal 17 Januari
2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan
Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan
kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk
merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara
terbuka. Pada Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia (MATAKIN) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara
terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang
Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya. Pada tanggal 19 Januari
2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari
Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada saat menghadiri perayaan
Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi,
g lagi. Sembahyang ini disebut Sembahyang “King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang
Maha Esa) dan dilakukan di depan pintu rumah menghadap langit lepas dengan
menggunakan altar yang terbuat dari meja tinggi berikut sesaji, berupa Sam-Poo
(teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh dan manisan 3 macam), Mi Swa, Ngo Koo
(lima macam buah), sepasang Tebu, dan tidak lupa beberapa peralatan seperti
Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat dupa ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat
menyempurnakan surat doa) dan Lilin Besar. Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15
Imlek saat bulan purnama, Umat melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada
saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara
sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara besar ini disebut
Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib
dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam,
tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment